Willem Iskander dan Muhammad Sjafei Pendiri Sekolah Guru Bumi Putera yang Terlupakan

"Para pendiri sekolah guru Bumi Putera pertama di era kolonial yang terlupakan itu adalah Willem Iskander dan Mohammad Syafei. Keduanya kurang dikenal bahkan namanya jarang sekali disebut meski memiliki jasa besar."

Indonesia memiliki tokoh-tokoh yang amat berjasa dalam dunia pendidikan di masa penjajahan Belanda. Sayang jasa dan pengabdian mereka seolah terlupakan begitu saja.

Selain Ki Hajar Dewantara, ada tokoh yang berjasa besar dalam membangun sekolah guru bagi para Bumi Putera di masa kolonial. Ki Hajar Dewantara dikenal luas sebagai tokoh pendidikan karena tanggal lahirnya, 2 Mei ditetapkan sebagai Hari Pendidikan Nasional.

TamanPendidikan.com

Sumber Foto Wikipedia

Para pendiri sekolah guru Bumi Putera pertama di era kolonial yang terlupakan itu adalah Willem Iskander dan Mohammad Syafei. Keduanya kurang dikenal bahkan namanya jarang sekali disebut meski memiliki jasa besar.

Willem Iskander

Willem Iskander lahir pada Maret 1840 dengan nama Sati Nasution lalu bergelar Sutan Iskandar di Pidoli Lombang, Sumatera Utara. Willem Iskander meninggal di Amsterdam, Belanda, 8 Mei 1876 pada umur 36 tahun. Willem Iskander adalah tokoh pendidikan dari daerah Mandailing Natal, Sumatera Utara, Indonesia.
TamanPendidikan.com

Sumber foto Wikipedia

Willem mendirikan sekolah guru sepulang dari pendidikan di Belanda. Dia merupakan pujangga bahasa yang menyair tentang pendidikan dan cinta kampung halaman.

Willem mengawali pendidikannya di Sekolah Rendah (Inlandsche Schoolan) di Panyabungan Kota, Mandailing Natal (1853-1855). Februari 1857 Dia berangkat ke Belanda bersama Alexander Philippus Godon, Asisten Resident Mandailing-Angkola untuk melanjutkan Sekolahnya. Pertama Dia belajar di Vreeswijk, supaya bisa melanjutkan ke sekolah guru. Dia dibantu oleh A P.Ghodon dan Prof. H.C. Milles (Guru Filsafat, Sastra dan Budaya timur di Utrecht) untuk mendapatkan beasiswa dari Kerajaan Belanda, meski mendapat tantangan dari parlemen Kerajaan karena dianggap Kristenisasi dalam pembiayaan pendidikan, tapi Prof HC Milles berhasil meyakinkan anggota Parlemen. Willem akhirnya dapat beasiswa di Sekolah Guru (Oefenschool). Ia lulus dan mendapat ijazah Guru bantu (Hulponderwijzer) 5 Januari 1859.

Tahun 1874 ia pergi melanjutkan pendidikannya ke Belanda kedua kali untuk mendapatkan Ijasah Guru Kepala Sekolah (Hoofdonderwijzer). Dia berangkat bersama Benas Lubis (Muridnya), Raden Mas Sunarso dari Kwekschool Surakarta, Mas Ardi Sasmita dari Majalengka.

Setelah lulus Sekolah Rendah di usia 15 tahun, Dia diangkat menjadi Guru di Sekolahnya tersebut. Willem juga bekerja sebagai juru tulis bumi putra (Adjunct inlandsche sehrijfer) di kantor resident Mandailing-Angkola, menggantikan Haji Nawi yang dipecat.

Sekembalinya dari Belanda tahun 1861 di Batavia, Willem menemui Gubernur Jenderal Mr. Ludolf Anne Jan Wilt Baron Sloet Van Den Balle untuk mengutarakan niatnya mendirikan Sekolah Guru di Mandailing. Keinginan Willem tersebut di etujui dengan memberikan surat rekomendasi kepada Van Den Bosch (Gubernur Pantai Barat Sumatera), Resident Mandailing-Angkola, Kontrolir, Pejabat-pejabat daerah untuk membantu dan mendirikan sekolah tersebut.

Atas dukungan pemerintah Belanda dan Kepala-kepala Kampung, tahun 1862 Willem mendirikan Sekolah Guru (Kweekschool) di Tano Bato secara swadaya dengan gedung sekolah yang sangat sederhana. Tano Bato merupakan Gudang Kopi Pemerintah Hindia Belanda. Willem melakukan terobosan gerakan pencerahan (Aufklarung) melalui pendidikan di Mandailing-Angkola, khususnya di Mandailing Orientasi, Cakrawala, Penalaran, Idealisme, dan Semangat pembaharuan di Mandailing.

Tahun 1874, Sekolah yang ia dirikan ditutup dan dipindahkan ke Padangsidempuan karena Willem pergi ke Belanda melanjutkan sekolah untuk mendapatkan Ijazah Guru Kepala.

Willem Iskander diabadikan sebagai nama jalan di Mandailing Natal dan di Medan. Selain itu merupakan nama sebuah SMK di Mandailing Natal, dan nama Sanggar Seni di Tebet, Jakarta Selatan. Willem Iskander mendapat penghargaan Hadiah Seni dalam rangka memperingati Hari Pendidikan Nasional 1978, KEPRES No 101/M/Tahun 1978.

Muhammad Sjafei

Muhammad Sjafei lahir di Ketapang, Kalimantan Barat, pada tahun 1899. Menurut penulis cerita Robohnya Surau Kami sekaligus alumnus INS Kayutanam Ali Akbar Navis dalam Filsafat Dan Strategi Pendidikan M. Sjafei: Ruang Pendidik INS Kayutanam (1996), tanggal kelahiran Sjafei direka-reka oleh dirinya sendiri yaitu 31 Oktober 1893.

TamanPendidikan.com

Sumber Foto Wikipedia

Keterangan itu sulit diterima mengingat ibu kandung Sjafei buta huruf, seperti kebanyakan orang Indonesia awal abad ke-20.  Meskipun berdarah Jawa asal Kediri, Dia dianggap sebagai tokoh masyarakat di Sumatera Barat. Hal ini tidak lepas dari peran ayah angkatnya, Ibrahim Marah Soetan (1860-1954), seorang tokoh pendidik dan pengarang pada awal abad ke-20 yang notabene merupakan putra Minangkabau asal Kayutanam, tamatan Kweekschool (atau Sekolah Raja) Bukittinggi, yaitu sekolah guru yang paling bergengsi dan satu-satunya di Sumatera. Alumni sekolah ini di antaranya adalah Tan Malaka dan Abdul Haris Nasution.

Prestasi sekolah Sjafei kecil rupanya sangat membanggakan sang ayah, sehingga setelah menamatkan sekolah rakyat di sana ia dikirim ke Sekolah Raja Bukittinggi, di mana Marah Soetan pernah bersekolah. Setelah tamat dari Sekolah Guru di Bukit Tinggi, Sjafei bekerja sebagai guru pada Sekolah Kartini di Jakarta selama 6 tahun. Seperti telah dijelaskan di atas, Sjafei seperti juga Ki Hajar, termasuk sosok yang berupaya mengawinkan sekolah dan politik. Perkenalannya dengan dunia politik telah dimulai ketika ia bersama ayah angkatnya, Marah Soetan, tinggal di Betawi (Jakarta). Bertemu dengan banyak tokoh pergerakan yang berkunjung ke rumah mereka. Sejak itulah, Sjafei menjadi anggota partai ayahnya, Insulinde, dan ia juga menyediakan waktunya untuk mengajar di Tamansiswa. Ia pun sangat menghayati cita-cita ayahnya, yang ingin mendirikan sekolah sendiri yang berada di luar sistem kolonial, sebuah sekolah yang memerdekakan jiwa dan kreativitas anak-anak di luar pakem pendidikan kolonial.

Pada usia 29 tahun Sjafei pernah merantau ke Belanda atas usaha sendiri untuk belajar di sana. Dari negeri Belanda, Sjafei memperoleh empat ijazah: ijazah guru Eropa, menggambar, pekerjaan tangan, dan musik. Di samping itu ia ikut aktif dalam organisasi pelajar yang didirikan oleh Mohammad Hatta yaitu 'Indonesische Vereeniging' dan menjadi redaktur rubrik pendidikan pada organisasi itu. Setelah sering berdiskusi, Hatta dan Sjafei sepakat soal pentingnya pendidikan bagi kemerdekaan. Tak heran jika Sjafei menolak tawaran mengajar di sekolah pemerintah dan memilih membangun sekolah sendiri. Sjafei bertekad mendirikan sebuah sekolah yang dapat mengembangkan bakat-bakat murid-muridnya dan disesuaikan dengan kebutuhan rakyat Indonesia.

Di Kayutanam-lah ia mendirikan sekolah yang dimaksud. Dalam memimpin sekolahnya, ia akan menolak secara keras bantuan dari luar, terutama bila bantuan tersebut bersifat mengikat dan tidak memberinya kebebasan. Semua bangunan dan fasilitas sekolah adalah hasil buah karya dan kemandirian murid-muridnya sendiri. 

Pada 1946 Dia diangkat menjadi menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan (PP dan K) dalam Kabinet Syahrir yang kedua menggantikan Todung Sutan Gunung Mulia. Kemudian ia menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung, dan pada 1950 menjadi anggota parlemen. Ia pernah mendapatkan gelar Doctor Honoris Causa dari IKIP Padang pada tahun 1968. Syafei meninggal dunia pada tanggal 5 Maret 1969.


Baca Berita yang lain di Google News



Our Network