Komputer tercepat yang diklaim bisa menandingi otak manusia saat ini adalah Fugaku dari Jepang yang punya 7,6 juta inti dan kecepatan pemrosesan data 442 peta flops dan 87 miliar transistor. Hal ini diungkapkan oleh Rudy Breighton, dari Intercontinental Technology and Strategic Architect Boston Amerika Serikat pada Jakarta Geopolitical Forum V secara daring, Kamis, (21/10).
Perkembangan teknologi kecerdasan buatan pesat berdampak kepada perkembangan budaya secara global. Breighton menuturkan bahwa kecepatan pemrosesan pada kecerdasan buatan lebih baik dari otak manusia.
Di sisi lain, pernyataan yang menyebutkan bahwa kemampuan kecerdasan buatan dapat sepenuhnya menggantikan otak manusia masih menjadi perdebatan karena GIGO atau garbage in garbage out.
Breighton menyatakan bahwa saat ini sudah terdapat human exoskeleton yang digunakan oleh militer Amerika Serikat. Breighton menjelaskan bahwa seorang prajurit diperkirakan dapat membawa 22 kg beban.
Namun pada kenyataannya, mereka membawa sekitar 63 kg beban. Sementara itu, human exoskeleton yang disebut juga dengan HULC (Human Unversal Load Carrier) dapat mengangkat beban hingga 90 kg, membantu prajurit untuk berlari dengan kecepatan 11 km/jam hingga 16 km/ jam dengan durasi lama.
Dapatkah kecerdasan buatan dapat bekerja dengan efisien dibandingkan dengan otak manusia?
Breighton menyebutkan bahwa sebuah hal yang tidak mustahil bagi kecerdasan buatan untuk bekerja dengan seefisien otak manusia walaupun tidak dapat bekerja secepat otak manusia. Kecerdasan buatan memiliki kecepatan pemrosesan yang sepuluh kali lebih cepat dari otak manusia.
Terkait teknologi, Breighton menyarankan bangsa Indonesia harus menciptakan teknologi secara jangka panjang, tidak terpengaruh politik.
"Tidak hanya lima atau 10 tahun. Kita harus menciptakan kebijakan jangka panjang yang tidak dipengaruhi oleh partai politik yang sedang menjabat," saran Breighton, dikutip dari siaran resmi, Jumat.
Teknologi, masa depan budaya, dan geopolitik sangat berkaitan. Penting bagi berbagai negara mempersiapkan sumber daya manusia. "Hal paling penting yaitu infrastruktur untuk mendukung kebijakan tersebut," kata Breighton.
"Alasan dari dibutuhkannya infrastruktur tersebut adalah karena kita membutuhkan sistem data yang baik. Jika kita tidak memiliki sistem data yang baik, kita akan menghasilkan data yang tidak layak. Garbage in garbage out. Kita harus berinvestasi pada infrastruktur dan pengelolaan sumber daya manusia," jelas Breighton.
Pendidikan dalam bidang teknologi, teknik, dan matematika dan ilmu komputer, lanjutnya, sangatlah penting karena jika tidak memiliki orang-orang yang pandai, maka kita tidak akan memiliki orang yang mahir dalam memprogram komputer.
"Investasi dalam bidang infrastruktur dapat menghasilkan sistem data yang baik. Sistem data yang baik tersebut akan diolah oleh sumber daya manusia yang baik untuk mengolah data tersebut yang kemudian dapat mendorong terciptanya alat yang dapat membantu kerja manusia" pungkas dia.
Breighton adalah satu dari sepuluh pembicara yang diundang oleh Lembaga Ketahanan Nasional RI dalam acara tahunan Jakarta Geopolitical Forum V tahun 2021 ini. Forum yang kedua kalinya diangkat secara daring ini mengangkat tema Culture And Civilization: Humanity at the Crossroads. Jakarta Geopolitical Forum (JGF) merupakan session sharing bagi para pakar geopolitik dunia dalam menelaah situasi kawasan di dunia.
Harapannya, forum strategis ini dapat dimanfaatkan oleh pembicara maupun peserta untuk mendiskusikan isu geopolitik di tingkat dunia. Geopolitik yang dimaknai sebagai ruang hidup menjadi isu sentral bagi seluruh negara di dunia.