cdn0-production-images-kly.akamaized.net
Jakarta - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengumumkan bahwa mulai Januari 2025, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) akan naik menjadi 12%. Ini adalah peningkatan dari tarif sebelumnya yang sebesar 11% yang berlaku sejak 1 April 2022. Kenaikan ini langsung menjadi topik hangat di media sosial, terutama di platform X (Twitter), di mana banyak warganet menyuarakan penolakan mereka terhadap kebijakan ini.
Simbol garuda biru kembali muncul sebagai tanda protes masyarakat, yang merasa bahwa kebijakan ini tidak adil, terutama bagi rakyat kecil. Banyak yang berpendapat bahwa menarik pajak tanpa memberikan layanan yang memadai adalah tindakan yang tidak bisa diterima. "Menarik pajak tanpa timbal balik untuk rakyat adalah sebuah kejahatan. Jangan minta pajak besar kalau belum becus melayani rakyat. Tolak PPN 12%," tulis salah satu warganet.
Berbagai cuitan lain juga mencerminkan keresahan ini, seperti, "Jangan kebiasaan malakin rakyat! Bebankan pajak besar untuk pembalak hutan, pengeruk bumi dan industri tersier. Jangan palak rakyat terus-terusan," dan banyak lagi suara-suara penolakan lainnya.
Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, menjelaskan bahwa kebijakan ini memiliki dampak signifikan terhadap ekonomi nasional. Kenaikan tarif PPN diharapkan dapat meningkatkan pendapatan negara, yang bisa digunakan untuk mendanai berbagai program penting seperti infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan. "PPN telah menjadi salah satu sumber pendapatan utama negara dan lebih tahan terhadap perubahan ekonomi dibandingkan pajak penghasilan," ujarnya.
Dengan PPN yang lebih tinggi, pemerintah bisa mengurangi defisit anggaran dan ketergantungan pada utang, terutama setelah pengeluaran yang meningkat selama pandemi. PPN juga lebih mudah ditarik karena tercatat dalam semua transaksi ekonomi, sehingga administrasi perpajakan menjadi lebih efisien.
Josua juga menekankan bahwa jika kebijakan kenaikan PPN tidak diterapkan, pemerintah akan kehilangan potensi pendapatan tambahan yang bisa memperbesar defisit anggaran. Hal ini dapat menghambat pembangunan infrastruktur dan program sosial lainnya. "Reformasi pajak yang tidak progresif dapat memperlambat perbaikan struktur fiskal dan membuat Indonesia kurang kompetitif di tingkat regional," tambahnya.